Fenomena Solstis 21 Juni 2024: Titik Balik Matahari dan Awal Musim Dingin di Belahan Bumi Selatan
Peristiwa solstis kembali terjadi pada 21 Juni 2024. Momen astronomi tahunan ini menandai saat Matahari berada di titik paling utara dari garis khatulistiwa, yang disebut Tropic of Cancer. Fenomena ini menandai pergantian musim global—memulai musim panas di belahan Bumi utara dan musim dingin di selatan—serta mempengaruhi panjang siang dan malam di berbagai wilayah.
Fenomena solstis merupakan salah satu peristiwa astronomi tahunan yang terjadi secara teratur dan dapat diamati dari Bumi. Tahun ini, solstis terjadi pada 21 Juni 2024, di mana posisi Matahari tampak berada di titik paling utara dalam pergerakan semunya terhadap Bumi. Saat itu, Matahari berada tepat di atas garis balik utara atau Tropic of Cancer, yang terletak pada 23,5° Lintang Utara.
Solstis Juni atau disebut juga June Solstice merupakan titik balik musim. Bagi belahan Bumi utara seperti Asia, Eropa, Amerika Utara, dan sebagian Afrika, momen ini menjadi awal musim panas. Di sisi lain, bagi belahan Bumi selatan seperti Australia, Selandia Baru, dan sebagian Amerika Selatan serta Afrika bagian selatan, peristiwa ini menandai awal musim dingin.
Solstis terjadi karena sumbu Bumi tidak tegak lurus terhadap bidang orbitnya, melainkan miring sekitar 23,5 derajat. Karena kemiringan ini, sinar Matahari tidak mengenai seluruh permukaan Bumi secara merata sepanjang tahun. Saat belahan utara Bumi miring ke arah Matahari, wilayah tersebut mengalami siang lebih panjang dan sinar Matahari lebih langsung, menyebabkan musim panas. Sebaliknya, belahan selatan mendapat sinar lebih miring dan durasi siang lebih singkat, memicu musim dingin.
Pada saat solstis, wilayah di sekitar Tropic of Cancer akan mengalami fenomena siang terpanjang dan malam terpendek sepanjang tahun. Matahari akan tampak berada di posisi tertinggi di langit saat tengah hari, menyebabkan bayangan benda sangat pendek atau bahkan tidak terlihat. Di beberapa tempat, fenomena no shadow day juga dapat diamati dalam waktu dekat dari tanggal solstis ini.
Meskipun Indonesia berada di dekat garis khatulistiwa dan tidak mengalami empat musim seperti wilayah subtropis dan kutub, efek solstis tetap bisa dirasakan, meski dalam skala kecil. Di wilayah-wilayah seperti Sumatra, Kalimantan, atau Sulawesi, durasi siang bisa sedikit lebih pendek atau lebih panjang beberapa menit dibandingkan biasanya. Walau perubahan itu tidak signifikan dalam kehidupan sehari-hari, bagi pengamat astronomi dan klimatologi, peristiwa ini penting untuk dicermati.
Dalam sejarah peradaban manusia, solstis merupakan penanda waktu penting. Banyak masyarakat kuno menggunakan posisi Matahari sebagai acuan dalam membuat kalender dan mengatur masa tanam atau panen. Di Mesir kuno, solstis dikaitkan dengan naiknya air Sungai Nil. Di Inggris, Stonehenge dipercaya dibangun untuk mengikuti pergerakan Matahari, termasuk momen solstis.
Hingga kini, berbagai komunitas di dunia masih memperingati momen solstis dengan perayaan budaya dan kegiatan spiritual. Di beberapa negara Eropa seperti Swedia dan Norwegia, solstis musim panas dirayakan dengan pesta api unggun dan tarian tradisional. Di sisi lain, komunitas pengamat langit memanfaatkannya untuk mengadakan pengamatan posisi Matahari dan diskusi astronomi terbuka.
Secara ilmiah, memahami solstis penting untuk memperjelas bagaimana mekanisme rotasi dan revolusi Bumi bekerja. Fenomena ini menjelaskan penyebab terjadinya musim, perubahan durasi siang dan malam, serta variasi intensitas sinar Matahari di berbagai wilayah. Dalam konteks yang lebih luas, pemahaman ini juga bermanfaat dalam ilmu lingkungan, pertanian, hingga pengembangan sistem penanggalan.
Fenomena solstis berikutnya akan terjadi pada bulan Desember 2024, dikenal sebagai December Solstice. Pada saat itu, Matahari akan berada di atas garis balik selatan (Tropic of Capricorn), menandai awal musim dingin di utara dan musim panas di selatan.
Komentar
Posting Komentar